Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja


Aaaawww it’s been a year menjadi pendatang di Jakarta dan menjalani hidup sebagai pekerja. Fase hidup yang kalau sampai sekarang, aku pikir adalah fase terberat karena tanpa ujung. Kalau sekolah, we know, dalam tiga tahun udah bisa lulus SMP dan SMA, lima tahun udah bisa lulus kuliah. But, kerja? Gak tahu kalau tetiba di-cut, tetiba ingin resign. Dan yeah… alasan mendasarnya adalah karena sudah mulai tidak menggantungkan finansial pada orang tua.

Menjadi wartawan ekonomi juga sebelumnya bukan pekerjaan yang akan aku bayangkan. Dahulu sekali, ku pikir pekerjaan jurnalis yang paling mulia adalah mereka yang turun ke jalanan, meliput banjir, memperjuangkan kehidupan layak bagi masyarakat yang tak mampu. Mereka yang ikut panas-panasan di daerah konflik, meregang nyawa, memberitakan apa yang terjadi sebenarnya. Atau mereka yang harus bisa bersilat lidah untuk dapat menginvestigasi permainan kotor para cukong. Jadi, wartawan ekonomi yang segmen pembacanya adalah investor… it’s a big no.

Sebenarnya sampai saat ini juga masih belum merasa ‘pas’ dengan pekerjaan ini. Kenapa? Ya karena… aku tidak pernah lagi membicarakan manusia. Saat ini, di desk bursa, yang aku bicarakan adalah pergerakan harga saham dan ekspansi bisnis perusahaan. Dulu di makro, yang aku bicarakan adalah bagaimana bisa membuat pertumbuhan ekonomi dengan menarik banyak investasi masuk dan memperkuat daya beli masyarakat. Tanpa tahu, bagaimana kondisi masyarakat di Indonesia yang banyak dihuni kelas menengah ke bawah.

Sampai hari ini masih sering meneguhkan hati dengan kalimat ‘kamu menulis untuk ekspansi bisnis supaya banyak tenaga kerja yang terserap’. Meskipun pada akhirnya, kadang harus miris bahwa lingkungan dikorbankan. Seperti sawit, Indonesia mati-matian mempertahankan ekspor sawit sebab memang dari situ pendapatan terbesar negeri merah putih ini. Kalau tidak, neraca perdagangan akan defisit, ini membuat Rupiah melemah terhadap dollar, dan ujungnya daya beli masyarakat turun. Krisis.

Sulit ya…

Dekat dengan pemerintah juga, tak dapat kupungkiri, mengaburkan keberpihakan. Kerap kali aku terjebak pada informasi-informasi, tidak tahu harus mengambil yang mana sebagai kebenaran. Kebenaran itu semu, yang ada hanya kepentingan.

Tetapi, satu yang akhirnya meneguhkanku, begitu besar Indonesia ini. Oposisi tetap perlu untuk menjaga pemerintah tak kebablasan. Agar pemerintah jadi memiliki beribu-ribu mata-mata, supaya semakin banyak hal yang dipertimbangkan.

Menjadi masyarakat yang madani juga satu hal yang penting. Kesejahteraan memang menjadi hak masyarakat, tapi tak selamanya hak itu tanpa batas. Masih ada kewajiban yang membatasinya. Kewajiban kita, sebagai masyarakat madani, menjadikan hidup kita sendiri layak dan pantas. Dengan apa? Berjuang meningkatkan kualitas hidup, sehingga memiliki daya tawar tinggi.

Untuk apa?

Dari sisi ekonomi, kamu akan bisa pantas secara finansial, memenuhi kebutuhan sendiri. Membuka lapangan pekerjaan.

Dari sisi kemanusiaan, kita bisa berdonasi untuk lingkungan, untuk sesama manusia atau donasi lainnya.

Karena memang, kekuasaan akan erat dengan uang. Pun kemiskinan dan ketertindasan erat dengan uang. Yang kesemuanya, akan lebih jelas bila hukum dilaksanakan sesuai tempanya, tak mengikatkan diri pada kepentingan manapun.

Pembahasanku jadi luas ya? Hahaha…

Intinya, selama satu tahun, aku dapat banyak perspektif baru. Bahwasanya, tak ada hitam dan putih. Kita semua hidup dalam banyak spektrum warna. Bahwasanya, kebenaran akan diikat oleh kepentingan. Tetapi data akan terus menuntun mana yang perlu dibela. Data bisa jadi pisau untuk mengevaluasi mana yang tepat dan tidak.

Semoga, satu tahun menjadi pekerja ini, membuatku jadi terus mau belajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?