Cerita Ceria Yang Pudar
Aku menatapnya lagi malam itu. Sesosok laki-laki paruh baya penuh dengan guratan muram di wajahnya. Ubannya mulai merata menutupi rambut hitamnya yang dulu bagus. Sesekali ia menyeruput teh tawar yang ia buat sendiri. Laki-laki yang dulu gagah dan tak terlawan kini seolah duduk dengan kelelahan tiada tara. Matanya seakan sudah tidak kuat menerima terpaan angin malam yang sangat dingin ini.
Tak ada kata yang mampu menyambungkan kami malam itu. Aku terlalu asik memandangi wajahnya yang menyimpan duka dan dia sibuk menerawang langit-langit rumah dengan tatapan kosong. Begitu banyak keriput yang membawa kisahnya kepadaku. Bertahun-tahun aku tidak tinggal bersamanya sampai aku lupa bahwa kami terikat darah sampai kapanpun. Ku khususkan malam itu untuk menyambanginya, yah sekedar menemani ia minum teh tawar kesenangannya ataupun melihat ia melamun.
Menurut orang, laki-laki yang duduk di depanku itu memiliki tangan yang gagah dan kaki yang tak mengenal lelah. Semasa mudanya banyak orang tunduk pada wibawanya, ia selalu menjadi pemimpin dalam kegiatan di kampus. Aku percaya cerita itu, karena saat aku membawanya menghadiri kelulusanku ia bertemu guruku yang ternyata dulu pernah menjadi salah satu anggotanya. Guruku itu bahkan sangat menghormati laki-laki ini.
Semasa kecilku dulu, laki-laki ini selalu membawaku kemanapun ia pergi. Bayangkan saja membawa anak kecil kan akan selalu merepotkan, tapi ia tidak merasa begitu. Sayangnya, aku masih mengingat perangai kasarnya yang suka memukuliku ketika aku bersalah. Laki-laki ini membawa sifat ayahnya dulu tegas dan kasar.
Banyak kejadian yang akhirnya memisahkan kami berdua. Ia membawa adikku bersamanya dan keluarga barunya, sedangkan aku memilih tinggal bersama ibuku. Dari waktu ke waktu, air mataku selalu menetes dikala mengingat sosok laki-laki yang kekar dan sering memberiku kasih sayang. Sampai akhirnya malam itu aku duduk tepat di depannya. Hidupnya ternyata berkawan duka, aku melihatnya sudah tanpa gairah hidup.
Laki-laki ini menunjukkan perannya sebagai boneka yang sedang dimainkan dua anak gadis kecil. Ia berlaku sesuai apa yang diinginkan oleh gadis kecil itu. Raut mukanya bercerita bahwa ia tak mau seperti ini, tapi ia sudah tidak tahu caranya melepas perannya menjadi boneka. Sampai akhirnya aku bertanya mengapa ia harus demikian ketika ia bisa meminta untuk berhenti menjadi boneka dan ia menjawab "inilah peran, kamu akan melaluinya". Ia menyeruput teh tawarnya lagi, melihat jam lalu berjalan menuju kamarnya. Langkahnya yang terseret-seret menandakan banyak beban yang harus ia pikul.
Laki-laki ini kupanggil dengan sebutan Ayah. Aku menyayanginya tapi tak tahu harus bagaimana. Aku menerimanya dalam keadaan apapun, tapi aku juga terkadang bosan melihat perannya sebagai boneka. Selamat malam ayah, semoga kokok ayam menjadi penghantar tidurmu. Sampai jumpa besok pagi masih dengan peran yang sama.
Komentar
Posting Komentar