Kisah Singkat dari Borneo

Setelah sekian lama meninggalkan tanah keraton Yogyakarta, sepertinya aku rindu menulis. Menulis kisahku satu bulan berada di pulau sebrang, pulau tanah merah Borneo. Keberangkatanku ke tanah Borneo, tepatnya di Ketapang, bukan karena alasan tak jelas. Aku kesana, bersama seratus sekian teman mahasiswa, pergi untuk mengabdi pada masyarakat di Borneo selama satu bulan.
Berawal dari mengarungi lautan selama 22 jam, aku mulai mengenali siapa saja teman-temanku ini. Sejak menyadari, hidup hari itu, tak akan menemukan sinyal, kecanggungan mengenal lebih dulu sepertinya hilang. Selama 22 jam, kami, aku lebih tepatnya, menjadi lebih srawung, memperkenalkan diri ke teman lintas fakultas.

Candr, Cipta, aku sebelum berangkat ke Borneo
suasana di kapal menanti daratan




Tujuan kami adalah Ketapang. Namun, kapal yang membawa kami berlabuh di Kumai, Kalimantan Tengah. Selanjutnya, kami harus menempuh perjalanan darat dengan bus trans-Kalimantan. Jangan membayangkan bus ini, adalah bus fasilitas eksklusif seperti yang mudah dijumpai di Pulau Jawa. Berbeda. Ada ACnya, Angin Cendela.
Hidup satu bulan di tanah Borneo, tentunya berimbas pada barang bawaanku. Bawaan kami. Luar biasa banyak. Kebutuhan pribadi, dicampur dengan kebutuhan kelompok guna memperlancar program kerja. Satu yang membuatku trenyuh, barang-barang ini dibawa oleh teman laki-laki. Menggotong dari bus – kapal – bus. Berat tentunya, jumlahnya pun banyak. Ketika satu orang saja membawa minimal dua tas, bayangkan saja beban yang harus mereka bawa.
Mungkin bagi kaian ini hal yang biasa. Tidak bagiku. Latar belakang keluargaku, yang selalu menuntutku untuk mandiri, membuatku terbiasa melakukan apapun sendiri. Termasuk hal sederhana membawa barang-barangku sendiri saat berpergian. Saat tiba di Kumai, kebiasaan ini masih aku bawa. Aku tanpa komando, ingin membawa tasku sendiri.
“itu berat, aku aja yang bawa. Kamu bawa ini aja (tas kecil),” ungkap salah seorang temanku.
Hal serupa masih terjadi ketika kami tiba di Nanga Tayap. Aku sebenarnya ingin mengangkat tasku sendiri. Namun, rupanya tas ini sempat menghilang. Dan lagi-lagi, aku harus merepotkan si tangguh pengangkat tas. Tak enak rasanya. Terimakasih yah. Eh, hal ini terjadi lagi, ketika aku harus berpindah ke Paroki Paya Kumang, Ketapang, keesokan harinya.

sebelum terpisah ke lokasi masing-masing


Hidup dalam kesederhanaan Sukaria
Setelah hidup nomaden selama lima hari, akhirnya aku tiba di lokasi tempatku mengabdi. Paroki Kendawangan. Kalau dihitung menggunakan jam dengan kecepatan normal, sekitar dua jam dari kota. Sebelum berangkat, aku cukup sedih, harus meninggalkan Isna, Adit dan Nando. Teman satu unitku yang tinggal di Paya Kumang. Lima hari hidup nomaden bersama mereka cukup meninggalkan kesan. Perlu kalian tahu, sebelum keberangkatan ke Borneo, pada mereka pun aku tak peduli. Ya, aku adalah orang yang cukup senang menghiraukan banyak hal baru. Cuek, kalau kata sahabat-sahabatku.

Di Sukaria, kehadiranku di sambut oleh Suster Ana dan Suster Jana, dua orang biarawati yang berasal dari luar Indonesia. Kesan pertama memasuki bangunan yang akan menjadi poskoku, sederhana ya. Ruangannya sempit. Tempat tinggalku, menjadi satu bangunan dengan gereja. Satu lagi, tidak ada listrik dan tidak ada sinyal. Bisa dikatakan hidupku di Jogja ternyata terlalu mewah. Sebab, aku baru merasakan tidak bisa tidur di Sukaria pada malam pertama, karena tidak ada AC, serta kasurnya yang keras. Tapi, lama-lama fasilitas ini yang aku rindukan. Fasilitas yang seadanya, mengurangi sedikit ambisi.

tempat tidur mereka selama satu bulan

perjuangan mencari sinyal

Hidup kami – aku, Candra, Cipta – ditanggung oleh seorang pastor paroki, yang ku panggil Romo Budi. Usianya tak lagi muda, tetapi semangat dan tenaganya dua kali lipat dari yang aku punya. Sebelum bertemu Romo Budi, sudah banyak ku dengar cerita tentang sifatnya yang keras. Galak, tanpa tedeng aling-aling. Namun, selama satu bulan, selama puluhan jam aku dibonceng dengan motor Win kesayangannya, aku paham benar, dia memiliki prinsip.

Dibonceng puluhan jam? Ya, Romo mengajak aku, Candra, dan Cipta turney, mengunjungi hampir seluruh paroki yang ada di Ketapang. Mulai dari Tembelina, hinggan Balai Berkuak, paroki terjauh. Ada satu paroki lagi yang jauh, Botong. Tapi tak sempat kesana. Selama dibonceng Romo Budi, banyak hal yang kami diskusikan. Mulai dari kondisi para imam paroki saat ini, hingga cerita tentang aku sendiri.
“ya, apapun itu dinikmati sajalah,” satu ungkapan darinya yang selama ini terngiang.

turney yeay!
mengunjungi kelompok lain di Air Upas


Romo Budi, mungkin adalah satu-satunya Romo yang hidupnya sangat sederhana. Ketika semua romo, yang aku tahu, memiliki HP pintar, ponsel miliknya hanya cukup untuk berkirim pesan dan telepon. Ketika semua romo, memiliki motor yang cukup muda, ia bertahan dengan Honda Win miliknya. Motor yang awalnya aku remehkan. Dalam kesederhanaanya itu, sering muncul bercandaan dari dia, “Romo sudah sah jadi orang kaya. Karena romo sudah punya celana tiga.”
Ah, romo, rindu rasanya.
Tak hanya kisah tentang Romo Budi yang aku rindukan. Keakraban penduduknya yang jarang ku temui di Jogjakarta pun menjadi candu bagiku. Tanpa malu-malu, mereka menyapa hangat kami si pendatang baru. Setiap kali ada acara di kampung itu, kami selalu dihampiri. Ya, tanpa sinyal, pertemuan kami menjadi berharga untuk memberi kabar. Saat kami akan kembali pun, anak-anak kecil itu, mengajak satu pekan kami untuk jalan-jalan bersama mereka.
“kakak sini pegang tangan saya. Licin kakak, nanti jatuh,” ungkap Nanda, salah satu anak yang selalu menggandengku. Perhatian sekali dia, takut aku jatuh. Padahal, badannya tiga kali lebih kecil dari pada aku.







Borneo, kesanmu candu.

Ya, borneo dan tanah merahnya, serta sawit yang mengiringinya masih sering aku rindukan saat ini. Cerita tentang ratusan mahasiswa, yang berpisah, yang awalnya rindu kampung halaman, malah sekarang ingin kembali, juga masih mengesan.

Rindu takutnya melihat jalanan merah sehabis hujan. Rindu senangnya melihat jalanan aspal. Rindu menyapa teman-teman saat penarikan. Rindu bertukar cerita selepas satu bulan mengabdi. Rindu hidup tak menuntut kemewahan, karena seadanya pun bahagia. Rindu Romo Budi yang apa adanya. Rindu Suster dan satu,dua, tiganya. Rindu Romo Agus dan masakannya. Rindu Candra dan Cipta yang diam dalam apapun. Rindu teman satu unit yang sempat menengok ke Sukaria. Rindu pada perkenalan tanpa maksud dibaliknya. Rindu rasa bahagia menemukan satu orang senasib sepenanggungan.

Add caption

Add caption



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja