Gimana Rasanya Magang di Tempo Media Group?
Udara Jogja yang lagi panas, dan skripsi yang gak
kelar-kelar bikin otak tiba-tiba kepikiran buat nulis tentang pengalaman magang
jadi jurnalis politik di Tempo, tahun 2017 lalu. Menurutku, pengalaman magang
selama tiga bulan ini bisa buat bekal kalau besok bener-bener mau terjun jadi
jurnalis, terutama di Jakarta yang gak pernah sepi.
Oh ya, mungkin aku bakal pake bahasa yang gak formal-formal
amat ya, biar gak spaneng bacanya.
Kok bisa sih magang di Tempo? Iya, jadi waktu itu ada
program wajib dari kampus yang membuat mahasiswanya harus magang sebelum
terjebak di dunia skripsi. Magang ini gak Cuma magang aja terus udah selesai.
Enggak saudara-saudara. Prosesnya harus bikin proposal dengan judul apa yang
mau diteliti saat magang, lalu berangkat magang, dan terakhir membuat laporan
magang atau Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
Waktu magang di Tempo, sebenarnya aku mengincar posisi
membantu jurnalis investigasi di Tempo. Namun, kebijakan dari Tempo,
investigasi gak bisa diambil oleh sembarangan orang. Perlu jurnalis-jurnalis
handal, mengingat resiko yang besar. Akhirnya, aku ditempatkan di super-desk. Ini semacam desk yang
mengurus seluruh pusat data harian. Jadi jurnalis koran ataupun majalah bisa
ambil liputan milik super-desk untuk
kepentingan beritanya.
Awal magang di Tempo, aku dijelasin ada dua tahap yang harus
aku jalanin sebellum turun ke lapangan. Pertama menerjemahkan berita, kalau
udah dianggap bagus tulisannya baru turun ke lapangan tapi menggunakan sistem
tandem. Jadi waktu di lapangan kita bakal liputan bareng jurnalis yang udah
lebih senior. Nah kalau waktu tandem udah jago nembak angle berita baru dilepas
buat liputan sendirian. Waktu itu Mas Dodong bilang perlu waktu dua minggu
sebelum liputan sendiri.
Selama satu minggu pertama, aku tiap hari ke kantor dari jam
sembilan sampai jam lima sore, atau sebetahnya deh. Satu minggu pertama itu aku
menerjemahkan lima sampai sembilan berita yang menggunakan bahasa Inggris. Nah,
struktur berita Indonesia dan luar negri ini beda banget. Kalau cuma nerjemahin,
bahasa Indonesianya pasti kacau banget. Jadi setelah terjemahin, struktur
beritanya harus dibenerin. Penilaian bagus atau enggaknya bisa dilihat hasil
terjemahan kita ini bakal diubah lagi gak sama redaktur pas udah naik ke situs
berita Tempo.co. Waktu itu sih, cuma sekitaran lima berita yang beda banget.
Apalagi kalau beritanya tentang Ekonomi Bisnis.
Berita Ekonomi Bisnis ini susah karena jurnalis juga harus
paham kondisi pasar dan hitung-hitungannya gak boleh salah. Bhaay!
Setelah satu minggu di kantor, akhirnya liputan pertamaku di
Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan. Iya ini tempat sidangnya Ahok. Penjagaan
sidang sangat ketat. Hanya wartawan tertentu aja yang boleh masuk. Aku, yang
emang gak dapet press card kebagian
jaga luar. Maksudnya memantau aksi yang dilakukan oleh FPI dan kelompoknya,
serta pendukung Ahok.
Setelah liputan pertama itu, aku lebih banyak ngeliput
tentang politik daerah Jakarta. Biasanya disuruh jaga Balai Kota atau di Polda
Metro Jaya. Kalau Balai Kota sepi, terutama waktu kampanye calon biasanya
ngikutin Djarot atau Ahok. Atau pernah malah di lempar ke pengadilan Tipikor,
Pengadian Tata Usaha Negara Jakarta Timur, dan ke Jakarta Utara.
Kalau di Balai Kota, aku harus siap di sana jam 8 pagi. Agenda pejabat-pejabat kantor ini emang pagi banget. Apalagi waktu Ahok aktif kerja, doorstop dia tuh pagi banget. Dan satu tantangan kalau nulis berita hasil wawancara sama Ahok, kita harus rapiin struktur jawabannya dia hehehe. Beda banget kalau di Polda, dateng siang-an gapapalah. Jam 10 aja balai wartawannya masih sepi. Cuma emang wartawan yang di Polda lebih sangar gitu gayanya.
Nah, kalau kebagian liputan ngikutin kampanye, jangan kampungan kaya aku ya! naik mobil rombongan yang ngegasnya gak nyantai aja langsung pusing hehehe. Gak sih, intinya kalau liputan beginian mah tempel terus tuh yang lagi kampanye. Ini liputan sekaligus olahraga gaes!
Terus, satu lagi. Kalau liputan demo jangan pake baju yang warnanya mencolok mata. Soalnya aku pernah tuh liputan demo, pesertanya pake warna putih kalau gak hitam, aku MERAH dong! MERAH. Dan itu bikin mereka sadar kalau aku 'beda' dari mereka hahaha. Ya maklum, selain warna baju, muka saya juga dianugerahi mata sipit.
Intinya ...
Liputan di mana pun, sebagai wartawan emang dituntut buat
gampang kenal sama orang baru. Apa gunanya? Ya biar gak ketinggalan berita
terbaru apa, materi berta juga bar lengkap. Biasanya di tempat liputan gini,
kita butuh temen-temen wartawan buat bisa dapet rekaman yang jelas dan lengkap.
Nah, biasanya alau wawancara gitu kan rebutan. Malah kadang wartawan bisa gak
dapet tempat kalau rebutan sama warga yang pengen foto sama si public figure ini. Kalau kita punya
kenalan, kita bisa minta tolong alat rekam kita dipegang sama mereka.
Selain itu, wartawan juga perlu sharing pengetahuan sebelum
ngetik berita. Gunanya ya biar informasi yang kita tulis ini udah disaring dulu
kebenarannya. Ya semacam memperaya perspektif tapi tetep berpegang teguh pada fakta
dan data.
Kalau dibilang capek, pasti capek jadi wartawan terutama
wartawan tulis. Kenapa? Sebelum wawancara kamu harus tahu background berita. Pas wawancara kamu harus bisa nembak angle melalui pertanyaan. Belum lagi
kalau pertanyaan kamu gak dijawab, harus puter otak lagi. Setelah wawancara
harus bisa nulis berita yang mudah ditangkap khalayak. Belum lagi tenaga buat
liputannya. Bisa dibilang membelah Jakarta dengan macet yang luar biasa dan
bahan berita yang luar biasa menuntut kamu buat pinter bagi prioritas. Apalagi,
kalau di Tempo, agenda lipuan baru dikasih tahu satu hari sebelumnya dan itu
pun jam 22.00 WIB.
Dari pengalaman itu, satu yang menurutku jadi nilai lebih
wartawan, kalian jadi saksi sejarah. Kejadian apapun ada kalian di sana. Dan
menurutku, jurnalis adalah kerjaan yang kasih bonus wawasan luas. Sebab aspek
kehidupan apapun harus dipahami jurnalis sebelum menulis berita.
Kak, aku tertarik untuk magang di tempo nih. Bisa minta kontak untuk tanya2?
BalasHapushaloo, bisa via dm instagram aja yaa, boleh ke @alvintaa
Hapus