Metamorfosa (4)
"Kenapa tak ada kabar darimu sepekan ini?"
"Aku sibuk. Kamu tahu projectku"
"Iya aku tahu. Nanti malam aku akan ke tempat biasa, ada pekerjaan. Mau menemani?"
"Tidak bisa, aku punya janji lain dengan temanku"
"Baiklah"
Hubunganku dengan Danar akhir-akhir ini merenggang. Dia tahu aku akan marah apabila tidak ada kabar darinya. Satu pekan ini dia menghilang. Saat ini aku hanya butuh bertemu dengannya berdua saja. Sudah lelah rasanya. Sudah banyak perubahan dalam hidupku sejak bertemu Danar.
Di tempat biasa aku menikmati pekerjaan, aku menunggu kejutan dari Danar. Tapi sepertinya harapan itu tak kunjung nyata. Akhirnya aku mengalah. Aku memintanya datang.
"Aku sudah datang tapi kamu diam"
Sulit buatku berkata. Mataku juga sudah memerah. Dan akhirnya aku hanya menatapnya tajam.
"Bicaralah, aku bingung. Aku sedih tapi sekarang juga tak berguna. Hanya duduk di depanmu dan diam tanpa tahu masalahmu," ucap Danar.
"Baik aku bicara. Pilihlah, semua prioritasmu dan tinggalkan aku, atau kamu belajar berbagi dan bersamaku"
Danar hanya diam. Aku tahu dia sedang menyalahkan dirinya.
"Berkatalah dan buat keputusan. Aku masih ingin bersama, tapi kalau keputusanmu malam ini sebaliknya maka aku pergi"
"Sepertinya kita berteman saja lagi seperti dulu. Ada hal rumit dalam diriku dan aku tidak mau kamu terlibat"
"Kenapa?"
"Aku tidak suka membagi beban hidupku padamu. Pada akhirnya aku terus melihatmu berkorban"
Seketika aku tidak memiliki rasa. Pudar juga rasa bertahan saat melihat Danar. Aku hanya melihat penyesalan pada dirinya. Ada kebingungan singgah disampingku. Malam itu kuputuskan pergi darinya. Aku tahu baru kali ini Danar membuat keputusan, dan memang mauku begitu.
Pada akhirnya aku berubah. Bahwa Danar jadi satu-satunya yang sulit aku lepas. Bahwa Danar satu-satunya yang bisa ku beri segalanya. Dan setelah ini, mungkin aku terbiasa pada hal yang biasa.
"Aku sibuk. Kamu tahu projectku"
"Iya aku tahu. Nanti malam aku akan ke tempat biasa, ada pekerjaan. Mau menemani?"
"Tidak bisa, aku punya janji lain dengan temanku"
"Baiklah"
Hubunganku dengan Danar akhir-akhir ini merenggang. Dia tahu aku akan marah apabila tidak ada kabar darinya. Satu pekan ini dia menghilang. Saat ini aku hanya butuh bertemu dengannya berdua saja. Sudah lelah rasanya. Sudah banyak perubahan dalam hidupku sejak bertemu Danar.
Di tempat biasa aku menikmati pekerjaan, aku menunggu kejutan dari Danar. Tapi sepertinya harapan itu tak kunjung nyata. Akhirnya aku mengalah. Aku memintanya datang.
"Aku sudah datang tapi kamu diam"
Sulit buatku berkata. Mataku juga sudah memerah. Dan akhirnya aku hanya menatapnya tajam.
"Bicaralah, aku bingung. Aku sedih tapi sekarang juga tak berguna. Hanya duduk di depanmu dan diam tanpa tahu masalahmu," ucap Danar.
"Baik aku bicara. Pilihlah, semua prioritasmu dan tinggalkan aku, atau kamu belajar berbagi dan bersamaku"
Danar hanya diam. Aku tahu dia sedang menyalahkan dirinya.
"Berkatalah dan buat keputusan. Aku masih ingin bersama, tapi kalau keputusanmu malam ini sebaliknya maka aku pergi"
"Sepertinya kita berteman saja lagi seperti dulu. Ada hal rumit dalam diriku dan aku tidak mau kamu terlibat"
"Kenapa?"
"Aku tidak suka membagi beban hidupku padamu. Pada akhirnya aku terus melihatmu berkorban"
Seketika aku tidak memiliki rasa. Pudar juga rasa bertahan saat melihat Danar. Aku hanya melihat penyesalan pada dirinya. Ada kebingungan singgah disampingku. Malam itu kuputuskan pergi darinya. Aku tahu baru kali ini Danar membuat keputusan, dan memang mauku begitu.
Pada akhirnya aku berubah. Bahwa Danar jadi satu-satunya yang sulit aku lepas. Bahwa Danar satu-satunya yang bisa ku beri segalanya. Dan setelah ini, mungkin aku terbiasa pada hal yang biasa.
Komentar
Posting Komentar