Di kursi
Satu kali lagi aku ke Jogja, untuk alasan yang sama.
Duduk berhadapan denganmu, sambil menelan asap rokok.
Menghabiskan satu bungkus kretek sambil menikmati ceritamu.
Yang lalu, aku membawa sekantung bunga.
Sayangnya, kali ini yang ku bawa adalah kesalahan.
Satu kali lagi aku pulang, untuk menepati takdir,
bahwa permulaan kita akan berakhir cepat.
Menepati takdir bahwa, aku yang meremukkanmu.
Menepati nubuat bahwa, aku akan selalu dianggap tak pernah tulus.
Demikian, peranku dalam panggungmu.
Satu kali lagi aku pulang, memberikan naskahku padamu.
Supaya tahu sutradara menginginkanku jadi apa.
Bahwa, lakonku jahat.
Bahwa kita hanya sandiwara.
Bahwa kenyataan, bisa ditemukan di balik panggung.
Di kursi tempatku duduk, berhadapan denganmu.
Duduk berhadapan denganmu, sambil menelan asap rokok.
Menghabiskan satu bungkus kretek sambil menikmati ceritamu.
Yang lalu, aku membawa sekantung bunga.
Sayangnya, kali ini yang ku bawa adalah kesalahan.
Satu kali lagi aku pulang, untuk menepati takdir,
bahwa permulaan kita akan berakhir cepat.
Menepati takdir bahwa, aku yang meremukkanmu.
Menepati nubuat bahwa, aku akan selalu dianggap tak pernah tulus.
Demikian, peranku dalam panggungmu.
Satu kali lagi aku pulang, memberikan naskahku padamu.
Supaya tahu sutradara menginginkanku jadi apa.
Bahwa, lakonku jahat.
Bahwa kita hanya sandiwara.
Bahwa kenyataan, bisa ditemukan di balik panggung.
Di kursi tempatku duduk, berhadapan denganmu.
Komentar
Posting Komentar