Kalau Jogja adalah tempat timbul segala romantisme, Jakarta adalah tempat munculnya segala ketangguhan.



Ah, akhirnya sudah enam bulan di Jakarta. Menyusuri Barat, Selatan, Utara, dan Timur Jakarta dengan si revo biru yang tangguh. Meskipun terkadang rewel di saat yang tidak tepat. Tapi, berkat dia, aku punya tempat favorite di kota ini, yaitu duduk di atas revo, sambil berkendara, sambil menangis dan menahan marah. 

Selama enam bulan sepertinya aku punya love-hate relationship dengan Jakarta dan jalanannya. Entah sepagi apapun keluar dari kos, dan semalam apapun pulang ke kos, pasti menemui setidaknya satu titik macet. Di saat macet ini, kadang timbul perasaan jengkel seperti ‘aku harus segera liputan ini’ atau ‘aku capek woi pengen cepet sampe kos dan rebahan’. Tapi satu hal yang aku sadari, semakin menggerutu dengan keadaan, aku semakin lelah. Akhirnya di saat macet ini, aku mencoba untuk lebih banyak menerima. 

Oke macet. Nanti liputannya telat, ya sudah, salahku tidak dari awal perginya. Atau, ya sudah macet mau bagaimana lagi. Nikmati saja, bersyukur kamu sampai di kota ini dan bertahan. Dan you can afford everything you want. 

Sebenarnya, enam bulan adalah waktu yang cukup singkat untuk paham Jakarta. Iya, aku belum bias fasih memberi arahan jika kamu tanya ‘aku harus menggunakan KRL yang mana untuk menuju Bogor? Aku dari stasiun Karet’. Aku juga belum hafal jalanan kecuali rute palmerah – BPS – Kementerian Keuangan – DPR – Sudirman. 

Tetapi, setidaknya aku ingin merekam enam bulan di Jakarta. Pahit dan manisnya. Kalau Jogja adalah tempat timbul segala romantisme, Jakarta adalah tempat munculnya segala ketangguhan. Kalau gang depan rumah di Jogja cenderung sepi, Jakarta adalah tempat yang ingin membuat diri sendiri memiliki kemampuan menghilang seperti Harry Potter agar tidak kena marah klakson kendaraan.  Kalau Jogja adalah tempat bersantai sambil menyeruput kopi bisa berjam-jam sampai lupa waktu, di Jakarta adalah tempat kamu harus bisa menikmati hidangan dengan tempat yang terbatas dan waktu yang terbatas. 

Beda dengan Jogja sebagai tempat pulang dan bermanja, Jakarta adalah tempat membenturkan diri, sakit tapi tahu bagaimana akhirnya kita terbentuk. Jakarta adalah kemandirian. Belajar mengatur waktu, keuangan, hingga kenyamanan untuk diri sendiri. Lantas, pantas penghuni Jakarta disebut individualis sebab untuk berjuang membahagiakan diri sendiri di kota yang banyak menawarkan kesepian adalah perjuangan. 

Banyak yang akhirnya membenci kota ini, penimbul rasa trauma. Tapi banyak juga yang akhirnya berterimakasih pada kota ini, berkatnya mereka semua bisa menyesap rasanya berdiri di kaki sendiri.

Di antara kebencian yang memuncak karena Jakarta tak pintar memberi rasa aman dan nyaman, ada kesalutan yang tersirat. Kaum pekerja Jakarta adalah jawaranya. Perjuangan benar-benar dirasakan dari membuka mata, mengatur waktu agar tidak terjebak macet dan telat sampai kantor, hingga menutup hari dengan jarak kantor-rumah yang jauh demi bertemu keluarga atau menyendiri dari kebisingan. 

Ah Jakarta, tunggu cerita-cerita setiap hari dari aku ya. Banyak sekali rupanya yang aku dapat dan bisa kuwariskan untuk anak cucuku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja