Terkait Tayangan Pernikahan di TV Swasta, Regulasi KPI Perlu di Revisi

Informasi telah menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat saat ini. Setiap orang menggunakan informasi tersebut dengan berbagai cara. Bagi beberapa orang, informasi digunakan sebagai alat aktualisasi diri dalam sebuah kelompok sosial. Ada juga yang menggunakan informasi karena ia memang butuh, entah untuk kegiatan pendidikan atau informasi tersebut berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan informasi, banyak media yang berlomba-lomba memberikan informasi yang cepat, lengkap dan akurat. Media tersebut utamanya adalah televisi.
Mencari informasi dari televisi tidak perlu tingkat literasi yang tinggi seperti media informasi lainnya. Misalnya saja koran atau majalah, seseorang harus bisa membaca untuk mendapatkan informasi dari media ini. Media lain seperti radio juga terbatas pada pendengaran. Apabila orang tersebut tuli, maka ia tidak dapat menerima informasi yang disampaikan melalui radio. Melalui televisi, seseorang yang tidak bisa membaca bisa mendapatkan informasi melalui suara dan seseorang yang tidak bisa mendengar bisa mendapatkan informasi melalui gambar yang ada di televisi. Kemudahan yang disuguhkan oleh televisi kemudian membuat masyarakat dapat menerima efek dari isi siaran televisi dengan mudah. Menghindari adanya efek negatif yang diterima mentah-mentah oleh masyarakat sistem penyiaran harus dikelola oleh pemerintah atau suatu lembaga. Menurut Masduki mengutip dari teori komunikasi massa milik Denis McQuail dalam bukunya Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal lembaga pengelola sistem penyiaran didirikan karena televisi dan radio semakin memiliki fungsi politis dan ekonomis yang menyebabkan hubungan sangat erat dengan kepentingan penguasa negara dan pemodal kapitalis.
Di Indonesia, lembaga yang mengatur sistem penyiaran seperti itu sudah ada, dan kita kenal dengan sebutan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini berdiri berdasarkan keputusan yang ada di UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Sebelum Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ada, pengelolaan sistem siaran dilakukan oleh pemerintah.  Pemindahantangan pengelola sistem siaran ini dilakukan demi isi siaran yang independen dan tidak terus menerus menjadi alat propaganda bagi pemerintah. Sebab selama 30 tahun, TVRI dicap sebagai stasiun televisi pemerintah dan corong pemerintah untuk menyampaikan pesan dan ideologi orde baru (Irawan dalam Bharata, dkk, 2010: 107)
KPI dalam tugasnya mengelola sistem penyiaran memiliki beberapa wewenang. Dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa KPI berwenang menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaannya, memberi sanksi bagi pelanggarnya, dan melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiarah dan masyarakat. Dengan tercantumnya wewenang KPI dalam UU tersebut, jelas bahwa KPI memiliki hak untuk menyatakan suatu program siaran melanggar atau tidak dan memberikan sanksi pada pelanggarnya.
Pada tahun 2008 KPI pernah memerintahkan Trans7 untuk menghentikan tayangan Empat Mata karena dianggap melanggar tiga pasal dalam P3-SPS. Tiga pasal tersebut adalah pasal 28 ayat 3, pasal 28 ayat 4, dan pasal 36. (detik.com, 2008). Setelah teguran ini, acara yang dibawa oleh Tukul Arwana muncul dengan format yang sama dengan penggantian nama menjadi Bukan Empat Mata. Sayangnya, program acara ini masih menampilkan hal-hal yang berbau seks padahal konten inilah yang menjadi salah satu alasan KPI menghentikan tayangan Empat Mata. Selain itu KPI juga pernah menghentikan beberapa tayangan seperti Smackdown, Extravaganza, One Piece, dan Dunia Lain. Penghentian beberapa tayangan tersebut dapat menjadi indikator bahwa KPI tegas dalam memberikan sanksi bagi pihak yang pelanggaran. Namun kemunculan tayangan dengan konten dan pembawa acara yang sama hanya mengubah judul acara membuat ketegasan KPI lagi-lagi dipertanyakan.
Akhir-akhir ini KPI juga sudah melayangkan teguran kepada pihak TransTV dan RCTI yang telah menayangkan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina selama dua hari. Melalui rilis yang diterima oleh merdeka.com (17/10) Ketua KPI Judhariksawan menjelaskan:
Program tersebut menayangkan seluruh prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina selama dua hari berturut-turut. KPI Pusat menilai siaran tersebut telah dimanfaatkan bukan untuk kepentingan publik
Menurut KPI program siaran tersebut disiarkan dalam durasi yang tidak wajar serta tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik utuh frekuensi.
Pada kasus tayangan pernikahan Raffi-Nagita yang dianggap bukan untuk kepentingan publik, seharusnya KPI tidak lupa bahwa Trans TV dan RCTI adalah lembaga penyiaran swasta. Dalam UU No. 32 tahun 2002 pasal 16 ayat 1 dijelaskan bahwa lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum. Menengok pada pasal tersebut, Trans TV dan RCTI tidak perlu mengutamakan memberi layanan untuk kepentingan masyarakat karena itu merupakan fungsi lembaga penyiaran publik. Artinya KPI sebenarnya tidak dapat menegur mentah-mentah program tayangan ini karena lembaga penyiaran swasta – Trans TV dan RCTI – tidak terikat pada ketentuan demi kepentingan masyarakat. Berbeda halnya apabila tayangan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina disiarkan oleh TVRI (Televisi Republik Indonesia). Sesuai yang dicantumkan dalam UU penyiaran TVRI dan RRI merupakan lembaga penyiaran publik yang berbentuk badan hukum didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Dengan ketentuan yang tercantum itu, KPI dapat dengan mudah menegur TVRI apabila menayangkan pernikahan kedua artis tersebut, karena sebagai lembaga penyiaran publik TVRI menggunakan frekuensi yang sepenuhnya dimiliki publik.
            Teguran KPI ini telah dilayangkan ke pihak Trans TV pada tanggal 17 Oktober 2014. Berdasarkan surat No 2415/K/KPI/10/14 KPI memutuskan bahwa tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran KPI tahun 2012 Pasal 11 ayat 1 serta Standar Program Siaran KPI tahun 2012 Pasal 11 ayat 1. Selain ke pihak Trans TV, KPI juga melayangkan teguran ini ke pihak RCTI pada tanggal 21 Oktober 2014. Apabila melihat ketentuan yang di UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 mengenai lembaga penyiaran swasta, teguran ini dapat dikatakan tidak tepat sasaran. Namun dalam Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 yang berisi lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik dan dalam Standar Program Siaran yang berisi program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu maka teguran KPI sudah tepat sasaran. Seharusnya perbedaan sudut pandang ini tidak terjadi karena P3SPS KPI dibuat berdasarkan pada ketentuan UU No. 32 Tahun 2012. Mengapa bisa demikian? Maka dari itu, perlu ada pembahasan lebih dalam mengenai teguran yang dilayangkan ke pihak Trans TV dan RCTI guna melihat relevansi UU Penyiaran dan PKSPS KPI Tahun 2012.
            Untuk membahas hal itu diperlukan menggunakan perspektif UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 dan P3SPS KPI Tahun 2012. Dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ada beberapa pasal penting yang harus diperhatikan; Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1). Sedangkan dalam P3SPS KPI Tahun 2012 perlu diperhatikan Pasal 11 ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran dan Pasal 11 ayat (1)  Standar Program Siaran.
             Perbedaan sudut pandang dari UU Penyiaran dan P3SPS KPI yang paling kentara adalah dalam UU Penyiaran lembaga penyiaran dibedakan menjadi tiga, publik, swasta, dan komunitas. Sedangkan ketentuan yang ada pada P3SPS KPI tidak dibedakan seperti yang dicantumkan di UU Penyiaran. Lembaga penyiaran swasta dimengerti sebagai lembaga yang bersifat komersil. Untuk mendapatkan pemasukan dana lembaga ini harus melakukan usaha lain yang sah terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Tetapi ketentuan P3SPS KPI Tahun 2012 ini mengeneralisasi perbedaan ketiga lembaga tersebut hanya dalam satu pasal. Berdasarkan pengertian ini, Trans TV dan RCTI memiliki hak untuk menayangkan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang bisa meningkatkan rating.  Dengan begitu Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 11 ayat (1) dan Standar Program Siaran milik KPI pasal 11 ayat (1) tidak bisa digunakan sebagai acuan untuk menentukan kedua televisi swasta ini melanggar ketentuan, karena seharusnya isi P3SPS KPI Tahun 2012 tidak bertentangan dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang memiliki kekuatan hukum yang lebih besar.
            Stasiun televisi yang menyiarkan pernikahan kedua artis ini dikenal masyarakat sebagai televisi swasta yang berorientasi pada komersialitas.  Sebagai stasiun penyiaran swasta komersial, orientasinya cenderung ke keuntungan materiil dibandingkan dengan masalah idiil (Darwanto, 2007). Sah-sah saja apabila stasiun televisi ini membuat program tayangan yang sesuai dengan selera pasar atau memenuhi kepuasan penonton yang direalisasikan dalam bentuk rating. Dengan memenuhi selera pasar, rating program tersebut akan naik, kemudian sumber dana dari para pengiklan juga akan terus meningkat. Dengan demikian jelas bahwa orientasi utama televisi swasta bukanlah memenuhi kepentingan publik.
Selain itu sadar atau tidak tayangan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina hanya memiliki manfaat yang sangat sedikit, bahkan menurut Remotivi tayangan yang isinya untuk kepentingan pribadi seperti ini tidak bermanfaat sama sekali.  Keterkaitan pernikahan mereka terhadap kehidupan yang dijalani penonton jelas-jelas tidak ada. Dalam hal ini yang termasuk kategori sangat terkait dengan kehidupan pribadi masyarakat misalnya adalah kenaikan harga bbm, dan revisi Undang-Undang. Melihat realita ini, secara logika konten tayangan pernikahan menyalahi regulasi penyiaran, bahkan lebih sederhana lagi khalayak hanya mendapat sedikit manfaat, kecuali hiburan, itu pun tidak mendidik.
Namun masalah ini tidak bisa dilihat dari sudut pandang yang sangat sederhana. Cara kerja rating yang digunakan sebagai feedback bagi media massa yang hanya bisa menunjukkan frekuensi penonton melihat program acara tertentu menyebabkan keseragaman genre.   Program acara yang memiliki rating tinggi akan terus dipertahankan, bahkan televisi lain akan berlomba-lomba menciptakan acara yang serupa. Perspektif rating ini telah menembus semua tingkat pengambilan keputusan dan seringkali mengabaikan kualitas, termasuk estetika, sosial dan psikologis penonton. (Garin dalam Panjaitan & Iqbal, 2006: 22). Akibatnya industri televisi terjebak pada pola kejar tayang dan duplikasi program televisi yang menarik banyak penonton. Contoh duplikasi program acara adalah tayangan pernikahan Anang dan Ashanty yang pernah diliput oleh RCTI mendapatkan rating yang tinggi, kemudian Trans TV dan RCTI mengulang kesuksesan yang sama lewat tayangan live pernikahan Nagita dan Raffi.  Menurut tempo.co pada tanggal 20 Mei 2012 mendapatkan rating yang cukup tinggi sebesar 7,9%. Sedangkan tayangan pernikahan Nagita dan Raffi sukses dengan mendapatkan rating sebesar 11,9% (life.viva.co.id, 2014)
Televisi tidak lagi mementingkan kualitas program tayangannya. Menurut Riza Primadi yang saat itu menjabat sebagai direktur pemberitaan Trans TV rating merupakan alasan utama ditayangkannya sebuah program acara meski sebuah acara dikatakan jelek, tidak mendidik, namun bagaimana pun itu merupakan bentuk keinginan masyarakat (Panjaitan & Iqbal, 2006: 33). Mereka melupakan ketentuan bahwa sebagai lembaga penyiaran mereka harus memuat tayangan yang mendidik, informatif, dan memberi hiburan yang mendidik. Stasiun televisi yang begitu memuja ‘maha-rating’ menimbulkan ketakutan bagi para pemerhati media. Mereka takut dengan tidak adanya regulasi yang mengatur kebutaan media terhadap kebutuh dan kepentingan publik, masyarakat terus menerus disajikan dengan program tayangan yang monoton dan tidak berkualitas. Masalahnya P3SPS KPI mengenai perlindungan kepentingan publik tidak secara detail dijelaskan mengikat pada lembaga siaran yang mana, ditambah dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang tidak dijelaskan secara gamblang bahwa lembaga penyiaran swasta juga harus memberikan layanan kepada kepentingan publik. Selain itu kriteria kepentingan publik masih sangat bias dalam regulasi penyiaran. Regulasi tidak boleh menutup mata bahwa di Indonesia banyak kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan dan kebutuhan informasi yang berbeda. Kepentingan ibu rumah tangga berbeda dengan kepentingan mahasiswa. Kebutuhan informasi tukang becak berbeda dengan kebutuhan informasi seorang guru. Realitas seperti ini belum dicantumkan dalam regulasi penyiaran di Indonesia.
            Setelah membahas mengenai konten tayangan yang dianggap melanggar ketentuan yang telah dibuat sekarang kita beralih ke jam tayang. Redaksi Remotivi (2014) menyatakan pelecehan publik adalah ketika empat belas jam sehari digunakan untuk menyiarkan rangkaian pernikahan sepasang selebritas di televisi. Pihak KPI sendiri menyatakan tayangan ini diluar durasi yang wajar serta tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik utuh frekuensi. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas perlindungan publik (kpi.go.id, 2014). Bandingkan saja mana yang lebih penting antara persiapan pelantikan Presiden Joko Widodo dengan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Tentu saja jelas bahwa persiapan pelantikan Presiden yang akan dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2014 lebih penting. Presiden adalah kepala negara yang nantinya akan menentukan kebijakan-kebijakan selama lima tahun masa jabatan. Secara logika masa depan negara lebih penting dari pada masa depan kedua selebritas ini. Fakta ini saja sudah cukup jelas menyatakan bahwa tayangan selama 14 jam dalam dua hari, yakni tanggal 16 dan 17 Oktober 2014 ini tentu saja telah mengesampingkan program acara berita yang manfaatnya jauh lebih banyak bagi penonton.
            Namun ada sebuah kejanggalan yang dilakukan oleh KPI ketika menegur kedua televisi swasta tersebut. Surat teguran KPI kepada pihak Trans TV dan RCTI yang menyatakan melanggar ketentuan P3SPS pasal 11 ayat 1 tidak dijelaskan mengenai jam tayang. Dengan tidak ada ketentuan mengenai jam tayang, KPI jelas tidak memiliki landasan hukum untuk memberi sanksi kepada Trans TV dan RCTI. Padahal ketentuan yang dibuat oleh KPI hendaknya mencakup isi tayangan, jam promosi tayangan, pedoman beriklan di televisi, pembagian kelompok usia, jam penayangan, dan etika penayangan (Darwanto, 2007: 5). Tidak adanya aturan tertulis yang dimiliki oleh KPI membuatnya tidak memiliki hak untuk menyatakan dan memberi sanksi kepada Trans TV dan RCTI karena durasi tayangan yang tidak wajar. Kesalahan ini apabila tidak diperbaiki dengan cepat oleh KPI, maka televisi atas nama rating akan merasa leluasa dengan durasi tayangan yang berlebihan.
            Dari dua poin utama – konten dan durasi penayangan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina – yang sudah dibahas merujuk pada perlunya revisi UU Penyiaran no 32 Tahun 2002 dan P3SPS KPI tahun 2012. Kedua regulasi itu dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan penyiaran saat ini, terutama televisi.
Pertama, P3SPS tidak memuat spesifikasi ketentuan masing-masing lembaga penyiaran. P3SPS dianggap menyederhanakan lembaga penyiaran yang ada. Hal ini dapat memperlemah dasar hukum KPI untuk memberikan sanksi bagi lembaga penyiaran yang melanggar ketentuan isi tayangan.  Apalagi logika rating yang digunakan oleh televisi seolah-olah menyeragamkan bahwa mereka yang menonton program tersebut pasti menyukai tayangannya. Padahal bisa saja, mereka menonton akibat tawaran televisi yang memang homogen.  Televisi swasta dapat membela diri dihadapan hukum karena mereka adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersil yang mendapatkan sumber dana dari rating untuk menarik para pengiklan.
Kedua P3SPS KPI juga perlu menambahi ketentuan mengenai isi tayangan, jam promosi tayangan, pedoman beriklan di televisi, pembagian kelompok usia, jam penayangan, dan etika penayangan. Jika ketentuan ini dibiarkan tidak ada pada P3SPS KPI, lembaga penyiaran akan sangat leluasa membuat program tayangan yang menurut mereka mendatangkan banyak keuntungan tanpa mempertimbangkan khalayak dan tanggung jawab media sebagai sarana pendidikan.

(Benedicta Alvinta/ FISIP UAJY)









Daftar Pustaka
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012.
Panjaitan, Erica L & TM. Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
S. S, Drs. Darwanto. 2007. Televisi Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bharata, Bonaventura S & dkk. 2010. Quo Vadis Televisi?. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Eny/Bdi. 2008. Bintang Tamu Makan Ikan Hidup, ‘Empat Mata’ Dilarang tayang. http://m.detik.com/movie/read/2008/11/04/173917/1031249/231//bintang-tamu-makan-ikan-hidup-empat-mata-dilarang-tayang diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 20.00 WIB
Khumaini, Anwar. 2014. Siarkan Nikah Raffi Gigi Trans TV Resmi Ditegur KPI. http://m.merdeka.com/peristiwa/siarkan-nikah-raffi-gigi-dua-hari-trans-tv-resmi-ditegur-kpi.html diakses pada tanggal 30 November 2014 pukul 20.40 WIB
Fathiyah, Alia & Syifa Junita. 2012. Anang Bersyukur Rating Tayangan Pernikahan Tinggi. Dikutip dari: http://www.tempo.co/read/news/2012/05/22/219405380/Anang-Bersyukur-Rating-Tayangan-Pernikahan-Tinggi. Diakses pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 18.43 WIB
Remotivi. 2014. Tayangan Pernikahan Selebritas Lecehkan Frekuensi Publik. Dikutip dari: http://remotivi.or.id/meja-redaksi/tayangan-pernikahan-selebritas-lecehkan-frekuensi-publik 20.32. Diakses pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 21.39 WIB
RG. 2014. Durasi Waktu Tak Wajar dan Tidak Bermanfaat untuk Publik, KPI Tegur RCTI Terkait Siaran Pernikahan Raffi dan Nagita. Dikutip dari: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32359-durasi-waktu-tak-wajar-dan-tidak-bermanfaat-untuk-publik-kpi-tegur-rcti-terkait-siaran-pernikahan-raffi-dan-nagita. Diakses pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 20.53 WIB



tugas akhir mata kuliah Televisi




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja