Apalah aku ini Tuhan, sampah busuk yang masih kau pelihara?

Sosok laki-laki ini tiba-tiba mendatangiku dan menarik tanganku keuar dari lingkaran keramaian tempatku duduk tadi. Hening, diam, dan dia sedikit menghela nafas.
"aku mau tanya sesuatu.."
"apa?" tanyaku heran. Dia memang sering bertingkah aneh seperti ini.
"ehm.." dia mengambil banyak waktu hanya untuk diam.
Laki-laki ini memang sering bertingkah aneh. Tiba-tiba datang dan memintaku untuk menceritakan masalahku, atau datang hanya untuk membuatku penasaran. Mungkin kali ini dia mau menceritakan masalahnya, pikirku saat itu.
"kamu kenapa?" akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Dan setelahnya, aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan bingung.
"memangnya aku kenapa?". Bodoh. Bahkan aku sendiri tidak tahu ada apa dengan diriku.
"Kamu pasti lari lagi dari masalahmu. Sekarang kamu sibuk cari kegiatan untuk menutupi masalahmu kan?"
"ehm.. " aku tidak bisa menjawabnya. Rasanya seperti bingung apakah itu benar, apa yang diucapkannya. Aku berharap dia menjelaskan lagi.
"Kamu sedang ingin melupakan sesuatu, dengan mencari kesibukan lain. iya kan? Itu bagus sih, tapi ingat itu tidak menyelesaikan masalahmu" akhirnya dia menjelaskan. Dan aku paham apa yang dimaksudkannya.

Sebagai manusia, aku memang tidak pernah lepas dari masalah. Sebagai manusia pula, tak jarang aku ingin melupakan masalah itu bukan menyelesaikannya. Temanku barusan menyadarkan bahwa, manusia itu rapuh. Semakin lama manusia menyimpan masalahnya, dinding-dinding di ruang kosong dalam tubuh manusia akan rapuh juga. Kenapa? Karena tak ada usaha untuk merawatnya, menyembuhkan rasa sakit.
Bagi sosok tadi, aku terlalu nyaman melipat rapi permasalahanku, padahal baunya sudah menyengat. Seperti pusaran, sudah terlihat besar dan aku tak mampu keluar dari pusaran itu.
Lalu apa sebenarnya pusaran tadi? Apa yang seharusnya coba aku lawan?

Percaya Diri.

Itu jawaban yang akhirnya aku temui.
"Kamu adalah sosok yang hebat. Perempuan yang bisa menangani semuanya sendiri" kata sosok itu.
Ah sepertinya tidak, aku menampis semua ucapannya. Aku tak bisa apa-apa
"Kamu punya potensi yang luar biasa besar. Lihat, kamu bisa Taekwondo, dan bisa mendapatkan juara. Kamu bisa bekerja saat kuliah. DBL dan JRBL contohnya. Kamu dipercaya untuk ikut organisasi. Kuliahmu tidak berantakan. Banyak barang-barang yang bisa kamu beli tanpa minta uang pada ayah ibu mu"

Cukup. Penjelasannya terlalu panjang, dan aku sadar aku melupakan itu.

"Seharusnya kamu bersyukur dan jangan kamu menganggap dirimu rendah. Jangan membandingkan kekuranganmu dengan kelebihan orang lain. Itu bodoh"

Aku gendut, aku sipit, aku hitam, rambutku tidak lurus dan halus, bajuku tidak ada yang modis, bahasa inggrisku jelek, aku terlalu galak aku bossy. Sedangkan orang lain? aku sering melihat, ada wanita yang juga gendut, tetapi dia putih, tetapi baju yang digunakannya bagus, dia lucu, dia pintar. Lalu aku ini apa dibanding dia yang seimbang kekurangan dan kelebihannya?

Pikiranku akhirnya lagi-lagi membandingkan dengan kesempurnaan orang lain.

"Gimana bisa kamu yang gak jago public speaking dibandingin sama temenmu yang MC?"

Mati. Dia bisa membaca pikiranku.

"Sudahlah, coba lihat anugrah yang kamu punya. Kembangkan, jangan terlalu nyaman untuk mengeluh dan meminta sesuatu tanpa berusaha"

Itu kata-kata terakhirnya sebelum kami pisah. Aku harus memimpin rapat redaksi majalah kampusku. Iya aku pemimpin redaksi, dan aku masih belum bisa bersyukur dan terus mengeluh?

Apalah aku ini Tuhan, sampah yang masih mau kau pelihara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja