Cerita tentang si Ibu 3 Bulan
Dia adalah sebuah ibu, tempat semua orang mengadu nasibnya.
Bukan, bukan ibu kandung. Ini adalah ibu kota sebuah negara berkembang tempat
aku dan kamu dilahirkan. Ya, ini tentang Jakarta si megapolitan yang selalu
panas dan tersorot.
Tidak pernah terbayangkan olehku, seorang gadis dari tanah
keraton singgah di Jakarta, kota yang menawarkan hingar bingar kemewahan.
Terhitung, hanya enam kali aku sempat mengunjungi Jakarta
selama-dua-puluh-satu-tahun hidup. Ini kali yang ketujuh, dan terlama – tiga bulan.
Bukan dengan maksud memenuhi kota ini, namun ada pengalaman yang harus kutemui
setelah janjian sejak bulan November tahun lalu (re: November 2016)
Untungnya, aku tidak harus sendirian merasa asing menghadapi
si Ibu Kota. Ada si teman seperjuangan, si teman mengeluh lelah setiap malam
Elisabeth Novita. Ada juga si teman menikmati sudut gedung-gedung raksasa yang
penuh merk di Jakarta, Imel, Dia, Sara. Ada juga si teman yang sama-sama
mengeluh betap kumuhnya pemukiman padat yang sering aku lewati, Elan. Sekali
lagi, untung ada mereka, teman yang siap mendengarkan sedikit cerita berisikku.
Ibu Kota memang tak pernah tidur. Bagiku, ada kelelahan
dalam rutinitasnya itu. Bagaimana tidak, larut malam sekalipun, bahkan dini
hari, kendaraan masih bersliweran, mondar mandir kesana kemari. Bahkan, kalau
boleh jujur, kedua mataku saja lelah mengamati kesibukan ini. Tak hanya
kendaraannya, penghuninya pun harus siap bangun dini hari, dan pulang larut
malam. Tujuannya, agar tidak berjibaku dengan asap, waktu yang habis di jalan,
dan kebisingan klakson yang berteriak lelah ‘cepatlah aku ingin segera sampai
ke tujuan’.
Sebut saja deskripsiku barusan adalah si macet. Rumusnya,
ruas jalan yang tak seimbang dengan jumlah kendaraan. Atau, ruas jalan yang
menyempit karena tak ada lagi lahan untuk membuat rumah bagi mereka yang
mencintai ibu kota atau sebenarnya membenci tetapi ingin mencari pundi-pundi
uang yang dijanjikannya. Alhasil, aku dan si tukang ojek selalu menemukan jalan
tikus. Jalan yang hanya muat untuk satu orang, layaknya celah dinding yang pada
masa kecilku sering kugunakan untuk bersembunyi. Tidak sekecil itu memang,
senyatanya mungkin ruas jalan ini hanya 50 senti. Tapi dia penyelamat.
Penyelamat? Bagi siapa? Ya bagi si pedagang makanan yang
bisa mendirikan warung seadanya yang penting bisa bertahan hidup. Ya bagi aku
yang menghindari si macet yang menyebalkan. Ya bagi si tukang ojek motor,
supaya cepat sampai tujuan, cepat dapat pelanggan lain, cepat dapat tumpukan
uang.
Duh, Jakarta kamu
lelah, aku pun begitu.
Aku tiba direngkuhanmu kala kau sibuk menentukan ‘siapa yang
layak merawatku’ si mantan mentri pendidikan atau si minoritas. Kerja si
minoritas bagus, tapi sepertinya janji yang ditawarkan si mantan menggiurkan.
Aku tiba di Jakarta dengan sebuah tugas mengabadikan
momentum itu dalam sebuah tulisan.
Dan, sebentar lagi kamu sudah mengantongi pilihan kan,
Jakarta?
Aku mengikuti pilihanmu, asal kau tak lagi lelah dengan
kebisingan dan si macet yang terus menempel pada tubuhmu. Asal kau nyaman.
Aku senang, kamu memberi banyak cerita padaku. Tentang Ibu
Kota yang baik untuk para pencari pundi-pundi uang, setidaknya kamu sudah
merayuku untuk kembali padamu.
Tapi aku juga takut, mengikuti rayuanmu membuatku menjadi si
ambisius. Waktu ku di sini kau hitung dengan uang. Dewa yang mungkin bisa
mengalahkan si pencipta semesta.
Aku juga sedih, melihat banyak yang sudah kau rayu tapi tak
tahu bahwa rayuanmu hanya diawal. Setelahnya, dia harus berjuang karena kamu
tak suka orang manja.
Lelahku selama tiga bulan sudah tak terkira. Aku lelah
melihat jalanan sempit, aku kasihan pada mereka yang harus hidup dalam
himpitan. Aku lelah melihat rumah kayu dipinggir sungai, penghuninya tak lagi
melihat keselamatan, mereka ingin tinggal di sana, asal uang bisa mereka
genggam. Tapi maaf jika pendapatku ini salah.
Aku juga lelah melihat banyak masa datang ke Jakarta untuk
sekedar meneriakkan ‘kafir, ‘penista agama’, ‘pilih pemimpin yang seiman’. Ayo
katakan, kamu juga sebenarnya lelah. Setujukah kamu dengan mereka? Bagiku
orang-orang ini tak pernah paham konteks dalam sebuah kata, irasional. Aku,
kadang lebih baik diam, lalu tersenyum dalam panas terikmu dan panas teriakan
mereka.
Aku lupa ini Jakarta
Dalam keluhku di atas, aku lupa kamu Jakarta.
Tempatnya gedung tinggi. Tempatnya lorong-lorong jadi
hunian, tempatnya sudut bisa menghasilkan uang.
Meskipun aku mengeluh lelah, dan terus memaksamu mengaku
lelah, ada tawaran yang mungkin di masa depan akan memanjakanku.
Aku juga lupa, ini Jakarta. Tempat sejarah mudah diciptakan
dengan cerita mu yang tak pernah habis.
Kamu pasti lelah, tapi kamu rela bekerja demi sejarah, demi
perjuangan mengalahkan negara adidaya. Mungkin.
Komentar
Posting Komentar