Metamorfosa (1)


Pesan darinya masuk. Rupanya, dia akan datang mengunjungi tempatku bekerja. Sebuah tempat untuk menikmati kopi. Belum lama memang, baru buka sekitar tiga bulan. Dan aku baru bekerja di tempat ini sekitar dua bulan. Saat membaca pesannya, tiba-tiba aku ingin cepat hari esok tiba. Sebuah rasa senang bisa menikmati kesibukannya.
Datanglah. Sudah ku pesankan tempat untukmu. Balasku. Memang tak hanya itu saja kami bertukar pesan. Aku sengaja mencari bahasan, dan beruntung dia menanggapi. Tapi aku tahu ini salah. Dalam pesanku ada harapan untuk membangun kembali, dalam pesannya, ada perasaan tak enak apabila tidak menanggapi. Ku sudahi. Ku tutup malam ini.
-
Sampai pukul empat sore, saatnya aku bekerja. Sembari cemas semoga laki-laki itu sudah pergi. Sembari berharap juga masih ada dia. Payah memang. Di tempatku bekerja, aku mencoba memperlihatkan kesibukanku. Bahwa keberadaannya tidak akan mengalihkanku.
“Hai mbak, mau membuat apa?” sapa perempuan berambut ikal dan berkaca mata. Mungkin dia melihatku menenteng laptop atau juga basa-basi karena lama tak jumpa.
Oh, ini temannya.
“Halo, apa kabar? Ini aku mau membuat rekap bulanan.”
Aku sengaja hanya melihat ke arah perempuan tadi. Bukan apa-apa, aku harus menyelamatkan diri sendiri.
“Kamu sudah makan belum?” suara berat itu menanyaiku. Memaksa penglihatanku ke arahnya. Dia tersenyum.
“Mau kamu traktir? Ayo” ungkapku untuk sedikit menghindar dari pertanyaan basa-basinya.
-
“Bisa bantu aku mengerjakan ini?”
Dia masih tidak berubah. Sejak kami hanya berteman, sampai akhirnya hari ini, saat semua selesai. Menghampiri, mengajakku berdiskusi tentang tugasnya. Aku juga tidak berubah, tidak pernah bisa menolak permintaannya.
Malam ini, sambil aku bekerja, ku luangkan waktu duduk bersamanya. Dia sibuk dengan tugas analisisnya untuk tugas akhir. Aku membantunya memetakan permasalahan yang perlu dia analisis. Lalu berakhir berdiskusi tentang hidupnya akhir-akhir ini, juga segala keresahanku.
Masih sama, hanya tahu batasan. Kami harus menjaga ruang masing-masing. Saat ruang itu terbuka, entah luka yang akan muncul atau suka. Hanya saja, resiko keduanya terlalu berat. Mungkin kami sama-sama tidak sanggup menanggungnya.
-
Dia pulang, dan aku harus menutup kafe ini. Lega muncul dalam bentuk senyuman di bibirku. Akhirnya dia pulang. Distraksi terbesarku tidak ada lagi. Hanya saja ada harapan kembali muncul ke permukaan. Yang sedari awal aku tak mau ada lagi. Aku mengira dia yang belum siap, rupanya aku.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja