Metamorfosa (2)


Kisah ini bermula dari kepanitiaan. Dia menjadi salah satu panitia di acara yang ku buat. Beberapa kali rapat, batang hidungnya tak nampak menonjol. Mengetahui namanya pun tidak. Meski banyak teman-teman panitia yang sudah mengenal dia.
Sampai suatu sore, di gelanggang olah raga, kami tiba bersamaan. Sebagai bentuk tata krama di kota kami, ku sapa dia dengan senyum tipis. Tapi anak ini tiba-tiba membuka tangan menyambut pelukan. Baiklah pikirku, pelukan adalah hal biasa yang ku lakukan pada setiap teman pria yang sudah akrab denganku.
“Kenapa bingung?” tanyanya yang melihat kekagetanku.
Beraninya dia, belum mengenal, sudah berani bertanya demikian, pikirku.
Memeluk bukan persoalan besar. Sebab, lingkunganku pun terbiasa melakukan tradisi berpelukan antara perempuan dan laki-laki. Batasan agama atau gender bukan masalah besar, atas dasar sesama manusia yang saling mendukung dan mengasihi. Akhirnya tetap ku jawab dengan senyuman. Aku memang tak perna suka basa-basi apalagi pada orang asing.
-
Sejak kejadian itu, aku mulai bisa menandainya. Aku mengenal dia sebagai sosok laki-laki yang mudah mendekatkan diri pada orang baru, dan sedikit perasa. Aku mulai menganggapnya sama seperti Dimas, Jati, Bambang dan beberapa teman laki-laki dekatku. Dekat yang berjarak.
Seperti pada Dimas yang ku sayangi karena sifatnya yang lemah lembut. Pun Jati yang bertanggung jawab dan Bambang yang sering ku ajak diskusi tentang politik yang rumit, tentang kebijakan yang makin tak masuk akal. Pun padanya, nama laki-laki ini Danar. Padanya sering ku mengeluh tentang kecemasan-kecemasan.
-
“Kamu baik sekali. Aku sayang padamu” ucap Danar memeluk dari belakang pada suatu malam. Aku ingat betul itu malam puncak acara kami. Aku juga ingat betul, pelukan itu sebagai hadiah atas perilaku ku padanya, yang sedikit member perhatian. Sebagai penanggungjawab acara, dia tak sempat makan. Ku lihat dia kelaparan, dan aku tergerak memberinya makan.
Pun ucapan darinya saat itu tak begitu spesial. Tak hanya dia yang mudah menyayangi ku dalam bentuk ucapan. Tapi aku tertarik menggodanya masuk dalam medan magnetku. Sejak malam itu, aku kerap menghujaninya perhatian. Sampai dia mengungkapkan aku mirip ibunya.
“Hidupku memang selalu tertuju pada ibuku. Dia perempuan yang banyak merasakan lelah atas kejamnya hidup, dan dia masih berjuang. Meskipun aku tahu dia tidak sempurna. Dia tetap perempuan yang sering berseberang pendapat denganku,” ceritanya padaku.
“Kamu hebat Danar, pun aku, tak bisa sebegitunya mengidolakan ibuku. Tetap jadikan ibumu prioritas hidupmu,” balasku.
Ku kira ceritanya hanya omong kosong para laki-laki untuk menunjukkan betapa patutnya dia disayangi. Betapa bertanggung jawabnya dia. Dan aku memiliki krisis kepercayaan pada mahkluk yang disebut laki-laki. Tapi pada akhirnya, seiring dalamnya aku mengenal Danar, memang betul, ibu prioritas baginya. Sebuah prinsip yang membuatku merasa sedih, tapi aku tak bisa mengelak bagaimana sistem dunia ini meletakkan ibu selalu menjadi prioritas pertama pada hidup seorang anak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja