Metamorfosa (3)


Danar Bagus adalah mahasiswa Hubungan Internasional semester akhir. Badannya atletis dan juga cukup manis. Kesukaannya tak jauh-jauh dari sejarah dan politik. Selera musiknya juga bagus. Bahkan banyak musisi dunia yang lintas generasi pun dia tahu. Kegemarannya pada hal-hal sosial politik turun dari ayahnya.
Sebagai generasi muda, di balik kehebatannya, tentu dia menyimpan kekurangan. Emosinya labil, dan pemendam semua yang dia rasa. Sulit memahami laki-laki ini. Kepekaannya atas segala rasa di muka bumi membuatnya tak bebas juga berekspresi. Lelucon yang sering dia lontarkan bisa menjadi dua sisi mata uang dengan rasa yang di pendam.
“Aku tahu kamu sedang kesal denganku, tapi lebih baik aku diam,” ungkapnya saat aku benar-benar jengkel padanya. Dia tahu aku sedang tidak dalam kondisi baik, tapi dia tetap mendiamkan aku dan memilih tertawa bersama temannya.
“Lalu kenapa kamu diam? Kamu tahu aku resah, malah kamu membuatku yang merasa bersalah”
“Apa kamu mau kita berdua terlihat kekanak-kanakan di depan mereka dengan masalah yang tidak kamu jelaskan padaku”
Aku diam.
“Kamu hanya perlu tenang dan diam di saat sepeti ini. Kamu tahu aku orang yang sulit”
Aku diam lagi.
“Apa keresahanmu?”
Tidak bersikap kekanak-kanakan adalah permintaanku. Tidak menunjukkan keintiman di depan umum juga permintaanku. Aku juga rumit dalam kondisi itu. Tapi dari sekilas peristiwa itu, aku tahu, Danar pintar memilih peran. Saat itu akhirnya aku hanya luluh pada peluknya. Aku tak pernah suka kemarahannya. Sejak saat itu ku biarkan dia tertawa lepas saat bersama teman-temannya. Dia memberi porsi untukku secukupnya, juga untuk temannya. Ada kawasan yang tidak mau aku langgar.
-
Danar juga memberi dunia baru pada sudut pandangku. Pernah suatu kali dia mengajakku menonton musisi indie kesukaannya. Tentu sebelum pergi aku menggunakan youtube untuk melihat karya sang musisi. Yah, supaya aku tak terlihat bodoh.
“Apa sih sebenarnya maksud lirik aritmatika dengan komunis di musik ini?” tanyaku seusai nonton
“Kamu tahu lambang PKI kan? Ada arit dalam kata aritmatika”
“lalu?”
“Ini menunjukkan ketakutan bangsa yang berlebihan pada kebangkitan komunisme. Lirik yang diangkat sarkas”
“Tapi kamu tahu kan sebenarnya komunis gak buruk-buruk amat? Kebencian pada komunis ini kan berawal dari perpecahan internal para jenderal?” tanya ku lagi.
“Aku tidak bisa menilai, tapi kau tahu sendiri saat ini aktivis-aktivis juga masih berjuang untuk korban tahun 1965 itu”
Demikian diskusi-diskusi yang menemani pertemuan kami. Bisa saja kami menghabiskan banyak waktu untuk membahas hal-hal di luar kami, dan berujung membuat kesimpulan yang menjadi peneguh prinsip kami.
-
Tentunya, semakin mengenal Danar, aku semakin takut. Terlalu rumit peta yang harus aku baca sendirian untuk menenangkan di saat badai, mengejar di saat tenang, dan diam di saat jalanan landai. Bukan lagi Danar yang banyak di kenal, juga mudah di sayang, dan masuk akal di dengar. Danar yang ku kenal adalah seluruh gravitasi yang membuat semua kerumitan terpusat. Menuju pusat tersebut, banyak jalan berliku dan gang buntu juga turunan yang curam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja