Gadis manis itu ...

Bersamaan dengan hilangnya musim hujan tahun ini, gadis yang sering terdiam di jendela kamarnya meratapi tiap sorenya yang tak lagi ada bau tanah basah. Bau tanah yang bisa menguapkan gejolak antara logika dan perasaanya.
Gadis manis itu, dia yang terlihat tegar tiap kali bertemu orang lain Gadis yang sama dengan kemurungan yang terlukis diwajahnya. Gadis yang sama yang saat ini sedang menyeruput coklat panas, agar pikirannya tenang mengikuti perasaannya.
Musim hujan yang begitu panjang menyisakan lamunan asik hasil dari fantasi si gadis, dan kemarau datang tanpa permisi merusak semua fantasinya. Gadis tegar ini kehilangan mimpinya.
Aku hanya bisa diam mendengar detak jantungnya yang lebih cepat dari pada bunyi detikan jarum jam tua yang berada diujung ruangan. Melihat butiran keringatnya yang keluar dari pori - pori kulitnya, menanti bibirnya bergerak merangkai kalimat.
"Aku ingin bersandar, entah pada siapa" ucapnya lirih tetapi memekik telingaku. Gadis yang selama ini berkawan dengan batu karang, tiba-tiba terluka oleh batu karang itu. Memandang gadis ini pun aku tak sanggup
"Kakiku sudah tidak kuat lagi menopang ketegaranku"
Gadis ini merasa kesepian. Kalau ia burung, sayap kanannya pasti terluka. Lagi - lagi aku terdiam, membiarkan ia memiliki ruang untuk membuang kesedihannya. Lalu ia menulis  pada secarik kertas dan pergi begitu saja.

Sejujurnya aku lelah berdiri sendiri seperti ini. Aku memang memiliki kalian, teman-temanku. Kalian yang mau menerima aku bagaimanapun keadaanku. Aku memiliki cerita-cerita kalian yang juga menemaniku saat sepi melanda, tapi aku masih saja merindukan sosok laki-laki itu. Padanya aku bisa meletakkan hatiku dengan aman. Aku yakin itu. Padanya aku menemukan jiwa ayahku yang sedang aku cari. Tapi lagi-lagi aku terhalang oleh keadaan fisikku. Iya, semua tentang fisik. Dia terlalu sempurna untuk mau menerimaku. Tetapi bukankah kita tak ada yang sempurna? Bukankah kesempurnaan hanya milik Si Penguasa? Lalu apakah aku juga harus menyesali keadaanku? Bukankah aku jatuh cinta, bukan karena aku yang memaksa untuk jatuh cinta? Sebagaimana air jatuh pada tempat yg lebih rendah, begitu juga halnya dengan jatuh cinta. Muaranya tak bisa aku pilih. Aku juga tidak tahu kenapa aku memilihnya. Kalau hanya untuk penolakan yang sebegini menyakitkan, bahkan lebih baik aku lahir bukan sebagai manusia, apalagi perempuan. Menjadi laki-laki terlihat lebih mudah, memperjuangkan cinta tanpa menutupinya karena itu bukan hal yang tabu buat mereka. Kalau aku? Begitu banyak ketakutan yang aku bayangkan kalau aku memperjuangkannya secara terbuka. Ah sudahlah, kamu tak perlu bingung bagaimana menanggapi ceritaku. Simpan saja kertas ini bersamamu, bukti kerapuhanku yang selama ini aku sembunyikan.

Dia begitu lama membiarkan hatinya rapuh dimakan rayap. Bisa berbuat apa aku? Menyimpan suratnya pun terlalu pedih untukku. Lebih baik aku bakar saja agar rayapnya ikut mati dilalap api.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja