Sebuah Pertemuan di Warung Kopi
Setelah sekian lama tak bertemu, melempar pandang dengan raut bahagia, akhirnya malam ini kita saling bisa menatap. memberiku kesempatan untuk mengenalimu lagi yang hidup dalam pejam mataku. Pertemuan yang sudah kita rencanakan sekian lama, pertemuan yang sudah bisa kutebak bagaimana jalan ceritanya.
Sejak dulu, perbincangan kita tak pernah lepas dari pemikiran kritis nan bebas kita. Sebagai anak muda yang masih berpegang pada sebuah idealisme. Sampai saat ini pun, dunia yang membuat kita basah adalah dunia yang sama. Bedanya, aku tak lagi melibatkan romansa remaja, sebuah cerita lama yang tak lagi tabu bagimu.
Segelas teh dingin milikmu, dan segelas jeruk dingin milikku menjadi saksi bisu pertemuan malam ini. Keheningan menjadi teman disela-sela perbincangan kita. Bagiku, keheningan adalah wadah untuk menelaah dirimu yang sekarang.
Tubuhmu, setiap detil wajahmu masih yang aku kenal dulu. Pemikiranmu yang sangat bebas, dan jauh mengejutkan aku. Kamu sudah bukan yang aku kenal dulu. Memang layak bagimu untuk menjadi pemimpin. Berani dan berwawasan, idealis tapi tak lupa tataran praktis.
Aku mengagumimu (lagi), bukan pada hasrat manusiawi untuk bersama. Aku mengagumimu, menghormatimu sebagai individu yang terus berpikir. Aku tahu ada arogansimu untuk menunjukkan seperti apa kau sekarang. Kau memang ingin menunjukkan konsep dirimu seperti apa. Bahkan, arogansimu menjadi saranaku untuk mengagumimu.
Sayang, pertemuan ini singkat. Waktu terlalu lena kubiarkan dengan hening. Ah.... sayang sekali, kali ini aku tak bisa mengimbangimu. Aku terlalu sibuk mencoba mengenalimu. Ah.. tapi aku bahagia, rupanya ada harapan dari mu untuk berbagi lagi denganku.
Yogyakarta, di warung kopi yang tidak pro kapitalis. 15 April 2016
Sejak dulu, perbincangan kita tak pernah lepas dari pemikiran kritis nan bebas kita. Sebagai anak muda yang masih berpegang pada sebuah idealisme. Sampai saat ini pun, dunia yang membuat kita basah adalah dunia yang sama. Bedanya, aku tak lagi melibatkan romansa remaja, sebuah cerita lama yang tak lagi tabu bagimu.
Segelas teh dingin milikmu, dan segelas jeruk dingin milikku menjadi saksi bisu pertemuan malam ini. Keheningan menjadi teman disela-sela perbincangan kita. Bagiku, keheningan adalah wadah untuk menelaah dirimu yang sekarang.
Tubuhmu, setiap detil wajahmu masih yang aku kenal dulu. Pemikiranmu yang sangat bebas, dan jauh mengejutkan aku. Kamu sudah bukan yang aku kenal dulu. Memang layak bagimu untuk menjadi pemimpin. Berani dan berwawasan, idealis tapi tak lupa tataran praktis.
Aku mengagumimu (lagi), bukan pada hasrat manusiawi untuk bersama. Aku mengagumimu, menghormatimu sebagai individu yang terus berpikir. Aku tahu ada arogansimu untuk menunjukkan seperti apa kau sekarang. Kau memang ingin menunjukkan konsep dirimu seperti apa. Bahkan, arogansimu menjadi saranaku untuk mengagumimu.
Sayang, pertemuan ini singkat. Waktu terlalu lena kubiarkan dengan hening. Ah.... sayang sekali, kali ini aku tak bisa mengimbangimu. Aku terlalu sibuk mencoba mengenalimu. Ah.. tapi aku bahagia, rupanya ada harapan dari mu untuk berbagi lagi denganku.
Yogyakarta, di warung kopi yang tidak pro kapitalis. 15 April 2016
Komentar
Posting Komentar