Surat Rindu untuk Ayah

40 hari telah berlalu, sejak saat itu aku harus berlari memastikan tubuhmu telah kaku. Melihatmu tertidur di atas kasur kecil, tidak pernah membuatku tak percaya bahwa sudah sekian hari kita tak bisa bertemu lagi dalam dimensi ini. Saat itu, aku tak pernah mengerti kenapa sulit bagimu untuk membuka mata? Biasanya setiap kali aku berkunjung, kau selalu melihatku, menyapaku.

Aku ingat, tubuhmu masih hangat saat itu. Tapi tak ku dengar suara jantungmu, tak ku rasakan nafas berhembus dari hidungmu. Aku menyerah. Hanya bisa ku raba kakimu yang sudah dingin, ku ciumi kakimu yang selalu kuat menggendongku dan mengajakku berjalan hingga sejauh ini.

Hari ini, harus lagi ku ingat aku tak bisa berjumpa denganmu. Merindumu hanya bisa ku lepas lewat ucapan doa, dan harapan jumpa dalam mimpi. Wajahmu tak lagi bisa ku lihat, kecuali dalam sebuah rekaman gambar tak bergerak.

Yang tak pernah ku sangka, malam sebelum kau pergi adalah malam terakhir kita tertawa dan saling bertatap muka. Terakhir kali kau mengajakku untuk bersantap hidangan. Terakhir kali aku melihatmu berdiri di depanku.

Rasanya tak adil bagiku ketika Tuhan mengambilmu dari kisah hidupku sejak kecil, dan sekarang benar-benar mengambilmu. Masa kecil tanpamu belum terbayar sepenuhnya, tetapi kau telah tiada.

Setegar apa pun aku tanpa mu, ada suatu sudut yang membuatku selalu menangis merindukanmu
Sekuat aku berdiri, aku selalu rindu sebuah pelukan dari mu yang menenangkan
Sayang, sejak 40 hari yang lalu, hanya ada jaketmu yang bisa membuatku hangat.

Saat ini kau di mana? Lewat saluran mana kah supaya aku bisa berbincang denganmu? Atau apakah sebuah rindu akan terus tak tersampaikan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Berkat atau kutuk?

Catatan satu tahun pertama menjadi pekerja