Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Di kursi

Satu kali lagi aku ke Jogja, untuk alasan yang sama. Duduk berhadapan denganmu, sambil menelan asap rokok. Menghabiskan satu bungkus kretek sambil menikmati ceritamu. Yang lalu, aku membawa sekantung bunga. Sayangnya, kali ini yang ku bawa adalah kesalahan. Satu kali lagi aku pulang, untuk menepati takdir, bahwa permulaan kita akan berakhir cepat. Menepati takdir bahwa, aku yang meremukkanmu. Menepati nubuat bahwa, aku akan selalu dianggap tak pernah tulus. Demikian, peranku dalam panggungmu. Satu kali lagi aku pulang, memberikan naskahku padamu. Supaya tahu sutradara menginginkanku jadi apa. Bahwa, lakonku jahat. Bahwa kita hanya sandiwara. Bahwa kenyataan, bisa ditemukan di balik panggung. Di kursi tempatku duduk, berhadapan denganmu.

Setipis Batas

Dalam batas waktu, jarak, dan perasaan Ada murka yang kian tumbuh Murka rindu yang terus tumbuh Tapi tertahan ademnya air yang meredam. Murka atas kasih yang kian menggapaimu Padahal nyatamu semu. Tak ada daging yang mampu ku sentuh, Tak ada aroma sedekat nafasku. Aku merindu untuk sukmamu. Aku bertahan untuk batasanmu. Aku membatasi untuk segala hal yang tak mampu dibendung. Terima kasih untuk tiga puluh hari memegang baraku. Makin lama, kita saling menyakiti. Semua karena batas. Mari terus menyakiti sampai rasa jadi tumpul. Kekasih, karena batas, kita tak pernah satu. Karena batas, kita saling memiliki tapi tak bisa mengikat. Kasih, aku mulai mencintai batas. Batas aku dan batasmu. Aku menyayangimu dalam segala sikap dan amarahku. Dalam segala sikap dan sabarmu.

Selamat tinggal

Lupa rasanya demikian sedih meninggalkan kota. Jogja dan rasa yang tertempel dalam sentuhan kulit. Ku tinggalkan dalam desahan sedih meski tanpa air mata Segala rasa yang tercipta saat ini, kita jalani dalam bentuk pesimis. Maka sudah, ku tinggalkan Jogja, dan ku siapkan untuk melepaskan asa pada raganya. Maka nanti melepas atau dilepas, meninggalkan atau ditinggalkan, akan selalu jadi bayang. Jogja, 13 September 2018, untuk laki-laki yang baru saja datang ke rumah.

Metamorfosa (4)

"Kenapa tak ada kabar darimu sepekan ini?" "Aku sibuk. Kamu tahu projectku" "Iya aku tahu. Nanti malam aku akan ke tempat biasa, ada pekerjaan. Mau menemani?" "Tidak bisa, aku punya janji lain dengan temanku" "Baiklah" Hubunganku dengan Danar akhir-akhir ini merenggang. Dia tahu aku akan marah apabila tidak ada kabar darinya. Satu pekan ini dia menghilang. Saat ini aku hanya butuh bertemu dengannya berdua saja. Sudah lelah rasanya. Sudah banyak perubahan dalam hidupku sejak bertemu Danar. Di tempat biasa aku menikmati pekerjaan, aku menunggu kejutan dari Danar. Tapi sepertinya harapan itu tak kunjung nyata. Akhirnya aku mengalah. Aku memintanya datang. "Aku sudah datang tapi kamu diam" Sulit buatku berkata. Mataku juga sudah memerah. Dan akhirnya aku hanya menatapnya tajam. "Bicaralah, aku bingung. Aku sedih tapi sekarang juga tak berguna. Hanya duduk di depanmu dan diam tanpa tahu masalahmu," ucap Danar. ...

Metamorfosa (3)

Danar Bagus adalah mahasiswa Hubungan Internasional semester akhir. Badannya atletis dan juga cukup manis. Kesukaannya tak jauh-jauh dari sejarah dan politik. Selera musiknya juga bagus. Bahkan banyak musisi dunia yang lintas generasi pun dia tahu. Kegemarannya pada hal-hal sosial politik turun dari ayahnya. Sebagai generasi muda, di balik kehebatannya, tentu dia menyimpan kekurangan. Emosinya labil, dan pemendam semua yang dia rasa. Sulit memahami laki-laki ini. Kepekaannya atas segala rasa di muka bumi membuatnya tak bebas juga berekspresi. Lelucon yang sering dia lontarkan bisa menjadi dua sisi mata uang dengan rasa yang di pendam. “Aku tahu kamu sedang kesal denganku, tapi lebih baik aku diam,” ungkapnya saat aku benar-benar jengkel padanya. Dia tahu aku sedang tidak dalam kondisi baik, tapi dia tetap mendiamkan aku dan memilih tertawa bersama temannya. “Lalu kenapa kamu diam? Kamu tahu aku resah, malah kamu membuatku yang merasa bersalah” “Apa kamu mau kita berdua terlih...

Metamorfosa (2)

Kisah ini bermula dari kepanitiaan. Dia menjadi salah satu panitia di acara yang ku buat. Beberapa kali rapat, batang hidungnya tak nampak menonjol. Mengetahui namanya pun tidak. Meski banyak teman-teman panitia yang sudah mengenal dia. Sampai suatu sore, di gelanggang olah raga, kami tiba bersamaan. Sebagai bentuk tata krama di kota kami, ku sapa dia dengan senyum tipis. Tapi anak ini tiba-tiba membuka tangan menyambut pelukan. Baiklah pikirku, pelukan adalah hal biasa yang ku lakukan pada setiap teman pria yang sudah akrab denganku. “Kenapa bingung?” tanyanya yang melihat kekagetanku. Beraninya dia, belum mengenal, sudah berani bertanya demikian, pikirku. Memeluk bukan persoalan besar. Sebab, lingkunganku pun terbiasa melakukan tradisi berpelukan antara perempuan dan laki-laki. Batasan agama atau gender bukan masalah besar, atas dasar sesama manusia yang saling mendukung dan mengasihi. Akhirnya tetap ku jawab dengan senyuman. Aku memang tak perna suka basa-basi apalagi pa...

Metamorfosa (1)

Pesan darinya masuk. Rupanya, dia akan datang mengunjungi tempatku bekerja. Sebuah tempat untuk menikmati kopi. Belum lama memang, baru buka sekitar tiga bulan. Dan aku baru bekerja di tempat ini sekitar dua bulan. Saat membaca pesannya, tiba-tiba aku ingin cepat hari esok tiba. Sebuah rasa senang bisa menikmati kesibukannya. Datanglah. Sudah ku pesankan tempat untukmu. Balasku. Memang tak hanya itu saja kami bertukar pesan. Aku sengaja mencari bahasan, dan beruntung dia menanggapi. Tapi aku tahu ini salah. Dalam pesanku ada harapan untuk membangun kembali, dalam pesannya, ada perasaan tak enak apabila tidak menanggapi. Ku sudahi. Ku tutup malam ini. - Sampai pukul empat sore, saatnya aku bekerja. Sembari cemas semoga laki-laki itu sudah pergi. Sembari berharap juga masih ada dia. Payah memang. Di tempatku bekerja, aku mencoba memperlihatkan kesibukanku. Bahwa keberadaannya tidak akan mengalihkanku. “Hai mbak, mau membuat apa?” sapa perempuan berambut ikal dan berkaca mata. M...

Meredam Perempuan

Maka pada akhirnya dendam kau redam pada satu sore, tatkala perempuan itu kau peluk  dalam raga juga dalam kata. Perempuan yang sempat mencipta api pada jiwamu Perempuan yang juga meruntuhkan mega Perempuan yang dalam pelukmu sore itu Kau peluk dalam kata "puan, kau hebat" Maka, runtuhlah si perempuan itu. Diam dalam ketenangan dan siap melepas. Demikian, jadi rumus akan kau gunakan. Memeluk dalam raga dan kata. Meredam gejolak ego, dan meminta dalam diam untuk bardamai menyampaikan rasa.

Mungkin Tuan Jadi Semu

Dia berjalan, Perlahan tapi tak tengok kiri kanan. Menghiraukan sebuah permintaan, Untuk berhenti sejenak. Dia terus berjalan, Memberi kesempatan tapi juga tidak. Meminta untuk terburu-buru, Membuat keputusan atau meninggalkan pertanyaan. Demikian dia disalahkan, Bagi yang tidak memanfaatkan. Sekarang, ingin aku tanyakan padamu Tuan, tidak takutkah engkau Pada yang kusebut waktu. Mungkin nanti tuan jadi semu Dalam kenyataan yang terus laju. Mungkin nanti, Pilihan yang lalu, Menjadi musuh waktumu.

Gimana Rasanya Magang di Tempo Media Group?

Udara Jogja yang lagi panas, dan skripsi yang gak kelar-kelar bikin otak tiba-tiba kepikiran buat nulis tentang pengalaman magang jadi jurnalis politik di Tempo, tahun 2017 lalu. Menurutku, pengalaman magang selama tiga bulan ini bisa buat bekal kalau besok bener-bener mau terjun jadi jurnalis, terutama di Jakarta yang gak pernah sepi. Oh ya, mungkin aku bakal pake bahasa yang gak formal-formal amat ya, biar gak spaneng bacanya. Kok bisa sih magang di Tempo? Iya, jadi waktu itu ada program wajib dari kampus yang membuat mahasiswanya harus magang sebelum terjebak di dunia skripsi. Magang ini gak Cuma magang aja terus udah selesai. Enggak saudara-saudara. Prosesnya harus bikin proposal dengan judul apa yang mau diteliti saat magang, lalu berangkat magang, dan terakhir membuat laporan magang atau Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Waktu magang di Tempo, sebenarnya aku mengincar posisi membantu jurnalis investigasi di Tempo. Namun, kebijakan dari Tempo, investigasi gak bisa diambil o...

Menikmati Kereta Ekonomi Rasa Eksekutif

Gambar
Mau ke Jakarta tapi budget sedikit, dan malas duluan membayangkan kereta ekonomi yang bikin punggung sakit, ruang kaki sempit dan ac yang kadang ada tapi tak terasa, kereta yang satu ini jadi salah satu penyelamatnya. Kepergian yang mendadak tentunya tidak memberi ruang untuk menabung. Duit seadanya, modal prinsip ‘yang penting bisa hidup’ pasti bikin pusing kepala. Cari harga kereta, mentok cuma bisa ekonomi. Aduh, tapi kereta ekonomi cukup menyiksa badan ya. Untungnya, berjam-jam bertamu di website ini itu akhirnya menemukan Jayakarta Premium, berangkat pukul 20.37 dari Stasiun Tugu, dan harganya cuma 180 ribu rupiah. “loh kelas ekonomi kok berangkatnya dari Tugu ya?” Di Jogja, ada dua stasiun yang aktif, Tugu dan Lempuyangan. Apa bedanya? Semua kelas ekonomi turun dan berangkat di Stasiun Lempuyangan, sedangkan bisnis dan eksekutif di Stasiun Tugu. Mirip di Jakarta lah ya, Pasar Senen dan Gambir. Nah, curiga dong kelas ekonomi ini bakalan beda dari biasanya. ...

Part-time di Singapura? Ini nih ceritanya..

Gambar
Hai, cerita kali ini aku berencana membawa kalian ke Singapura. Negara tetangga yang kecil namun luar biasa kaya. Biasanya masyarakat kita pergi ke Singapura untuk belanja barang-barang dengan merk terkenal, yang harganya juga mahal. Berbeda dari itu, aku datang ke negara ini untuk bekerja. Yap, tahun 2015 aku berkesempatan untuk bekerja paruh waktu di Singapura. Nah, aku ingin membagikan pengalamanku bekerja di sana. Mencari lowongan kerja part-time Beruntungnya, aku memiliki saudara yang sudah lebih dulu tinggal dan bekerja di Singapura. Saudaraku ini berkewarganegaraan Indonesia dengan status Landed Permanent Resident (LPR). Dengan status itu, dia secara legal bisa bekerja di Singapura dan tinggal di sana. Biasanya masa berlaku sekitar satu sampai dua tahun (tergantung update dari pemerintah sana ya), setelahnya bisa ganti status menjadi Permanent Resident (PR). Nah, saudara ku ini bergabung dalam salah satu forum online yang isinya orang Indonesia yang bekerja atau sekolah...